RUBRIK ISLAMI


Diambil dari Fatwa-Fatwa Terkini jilid 2
Muroja’ah: Ust. Subhan Khadafi

Pertanyaan:

Akhir-akhir ini telah merebak perayaan valentine’s day terutama di kalangan para pelajar putri, padahal ini merupakan hari raya kaum Nasrani. Mereka mengenakan pakaian berwarna merah dan saling bertukar bunga berwarna merah. Kami mohon perkenanan syaikh untuk menerangkan hukun perayaan semacam ini, dan apa saran syaikh untuk kaum muslimin sehubungan dengan masalah-masalah seperti ini. Semoga Allah menjaga dan memelihara syaikh.

Jawaban:

Tidak boleh merayakan valentine’s day karena sebab-sebab berikut:

Pertama: bahwa itu adalah hari raya bid’ah tidak ada dasarnya dalam syari’at.
Kedua: bahwa itu akan menimbulkan kecengengan dan kecemburuan.
Ketiga: Bahwa itu akan menyebabkan sibuknya hati dengan perkara-perkara bodoh yang bertolak belakang dengan tuntunan para salaf radhiyallohu’anhum.

Karena itu pada hari tersebut tidak boleh ada simbol-simbol perayaan, baik berupa makanan, minuman, pakaian, saling memberi hadiah ataupun yang lainnya.

Hendaknya setiap muslim merasa mulia dengan agamnya dan tidak merendahkan diri dengan menuruti setiap ajakan. Semoga Allah Subhanahu wata’alla melindungi kaum muslimin dari setiap fitnah, baik yang nyata maupun yang tersembunyi dan semoga Allah senantiasa membimbing kita dengan bimbingan dan petunjuk-Nya.

Fatwa Syaikh Ibnu Ustaimin, tanggal 5/11/1420 H yang beliau tanda tangani

***

Pertanyaan:

Setiap tahunnya pada tanggal 14 februari sebagian orang merayakan valentine’s Day. Mereka saling bertukar hadiah berupa bunga merah, mengenakan pakaian berwarna merah, saling mengucapkan selamat dan sebagian toko atau produsen permen membuat atau menyediakan permen-permen yang berwarna merah lengkap dengan gambar hati, bahkan sebagian toko mengiklankan produk-produknya yang dibuat khusus untuk hari tersebut. Bagaimana pendapat syaikh tentang:

Pertama: Merayakan hari tersebut?
Kedua: Membeli produk-produk khusus tersebut pada hari itu?
Ketiga: Transaksi jual beli ditoko (yang tidak ikut merayakan) yang menjual barang yang bisa dihadiahkan pada hari tersebut kepada orang yang hendak merayakannya?
Semoga Allah membalas syaikh dengan kebaikan.

Jawaban:

Berdasarkan dalil-dalil dari Al Kitab dan As Sunah, para pendahulu umat sepakat menyatakan bahwa hari raya dalam islam hanya ada dua; Idul Fitri dan Idul Adha selain itu semua hari raya yang berkaitan dengan seseorang, kelompok, peristiwa atau lainnya adalah bid’ah, kaum muslimin tidak boleh melakukannya, mengakuinya, menampakkan kegembiraan karenanya dan membantu terselenggaranya karena perbuatan ini merupakan perbuatan yang melanggar batas-batas Allah, sehingga dengan begitu pelakunya berarti telah berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri. Jika hari raya itu merupakan simbol orang-orang kafir, maka ini merupakan dosa lainnya, karena dengan begitu berarti telah ber-tasyabbuh dengan mereka dan loyal terhadap mereka di dalam kitab-Nya yang mulia dan telah diriwayatkan secara pasti dari Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bahwa beliau bersabda,

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum berarti ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Daud)

Valentine’s Day termasuk jenis yang disebutkan tadi, karena merupakan hari raya Nasrani, maka seorang muslim yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir tidak boleh melakukannya, mengakuinya atau ikut mengucapkan selamat bahkan seharusnya meninggalkannya dan menjauhinya sebagai sikap taat terhadap Allah dan Rosul-Nya serta untuk membantu penyelenggaraan hari raya tersebut dan hari raya lainnya yang diharamkan baik itu berupa iklan dan sebagainya, karena semua ini termasuk tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan serta maksiat terhadap Allah dan Rosul-Nya sementara Allah Subhanahu wata’alla telah berfirman:

“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksanya.” (QS. Al Ma’idah: 2)

Dari itu hendaknya setiap muslim berpegangteguh dengan Al kitab dan As sunah dalam semua kondisi lebih-lebih pada saat-saat terjadinya fitnah dan banyaknya kerusakan. Hendaknya pula ia benar-benar waspada agar tidak terjerumus ke dalam kesesatan orang-orang yang dimurkai, orang-orang yang sesat dan orang-orang yang fasik yang tidak mengajarkan kehormatan dari Allah dan tidak menghormati Islam. Dan hendaknya seorang muslim kembali kepada Allah dengan memohon petunjuk-Nya dan keteguhan didalam petunjuk-Nya. Sesungguhnya tidak ada yang dapat memberi petunjuk selain Allah dan tidak ada yang dapat meneguhkan dalam petunjuk-Nya selain Allah Subhanahu Wata’alla. Hanya Allah-lah yang kuasa memberi petunjuk.

Salawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

Fatwa Al-Lajnah Ad-Da imah lil Buhuts Al-Ilmiyah wal Ifta (21203) tanggal 22/11/1420 H

stilah pacaran itu sebenarnya bukan bahasa hukum, karena pengertian dan batasannya tidak sama buat setiap orang. Dan sangat mungkin berbeda dalam setiap budaya. Karena itu kami tidak akan menggunakan istilah `pacaran` dalam masalah ini, agar tidak salah konotasi.

I. Tujuan Pacaran

Ada beragam tujuan orang berpacaran. Ada yang sekedar iseng, atau mencari teman bicara, atau lebih jauh untuk tempat mencurahkan isi hati. Dan bahkan ada juga yang memang menjadikan masa pacaran sebagai masa perkenalan dan penjajakan dalam menempuh jenjang pernikahan.

Namun tidak semua bentuk pacaran itu bertujuan kepada jenjang pernikahan. Banyak diantara pemuda dan pemudi yang lebih terdorong oleh rasa ketertarikan semata, sebab dari sisi kedewasaan, usia, kemampuan finansial dan persiapan lainnya dalam membentuk rumah tangga, mereka sangat belum siap.

Secara lebih khusus, ada yang menganggap bahwa masa pacaran itu sebagai masa penjajakan, media perkenalan sisi yang lebih dalam serta mencari kecocokan antar keduanya. Semua itu dilakukan karena nantinya mereka akan membentuk rumah tangga. Dengan tujuan itu, sebagian norma di tengah masyarakat membolehkan pacaran. Paling tidak dengan cara membiarkan pasangan yang sedang pacaran itu melakukan aktifitasnya. Maka istilah apel malam minggu menjadi fenomena yang wajar dan dianggap sebagai bagian dari aktifitas yang normal.

II. Apa Yang Dilakukan Saat Pacaran ?

Lepas dari tujuan, secara umum pada saat berpacaran banyak terjadi hal-hal yang diluar dugaan. Bahkan beberapa penelitian menyebutkan bahwa aktifitas pacaran pelajar dan mahasiswa sekarang ini cenderung sampai kepada level yang sangat jauh. Bukan sekedar kencan, jalan-jalan dan berduaan, tetapi data menunjukkan bahwa ciuman, rabaan anggota tubuh dan bersetubuh secara langsung sudah merupakan hal yang biasa terjadi.

Sehingga kita juga sering mendengar istilah “chek-in”, yang awalnya adalah istilah dalam dunia perhotelan untuk menginap. Namun tidak sedikit hotel yang pada hari ini berali berfungsi sebagai tempat untuk berzina pasangan pelajar dan mahasiswa, juga pasanga-pasangan tidak syah lainnya. Bahkan hal ini sudah menjadi bagian dari lahan pemasukan tersendiri buat beberapa hotel dengan memberi kesempatan chek-in secara short time, yaitu kamar yang disewakan secara jam-jaman untuk ruangan berzina bagi para pasangan di luar nikah.

Pihak pengelola hotel sama sekali tidak mempedulikan apakah pasangan yang melakukan chek-in itu suami istri atau bulan, sebab hal itu dianggap sebagai hak asasi setiap orang.

Selain di hotel, aktifitas percumbuan dan hubungan seksual di luar nikah juga sering dilakukan di dalam rumah sendiri, yaitu memanfaatkan kesibukan kedua orang tua. Maka para pelajar dan mahasiswa bisa lebih bebas melakukan hubungan seksual di luar nikah di dalam rumah mereka sendiri tanpa kecurigaan, pengawasan dan perhatian dari anggota keluarga lainnya.

Data menunjukkan bahwa seks di luar nikah itu sudah dilakukan bukan hanya oleh pasangan mahasiswa dan orang dewasa, namun anak-anak pelajar menengah atas (SLTA) dan menengah pertama (SLTP) juga terbiasa melakukannya. Pola budaya yang permisif (serba boleh) telah menjadikan hubungan pacaran sebagai legalisasi kesempatan berzina. Dan terbukti dengan maraknya kasus `hamil di luar nikah` dan aborsi ilegal.

Fakta dan data lebih jujur berbicara kepada kita ketimbang apologi. Maka jelaslah bahwa praktek pacaran pelajar dan mahasiswa sangat rentan dengan perilaku zina yang oleh sistem hukum di negeri ini sama sekali tidak dilarang. Sebab buat sistem hukum sekuluer warisan penjajah, zina adalah hak asasi yang harus dilindungi. Sepasang pelajar atau mahasiswa yang berzina, tidak bisa dituntut secara hukum. Bahkan bila seks bebas itu menghasilkan hukuman dari Allah berupa AIDS, para pelakunya justru akan diberi simpati.

III. Pacaran Dalam Pandangan Islam

a. Islam Mengakui Rasa Cinta

Islam mengakui adanya rasa cinta yang ada dalam diri manusia. Ketika seseorang memiliki rasa cinta, maka hal itu adalah anugerah Yang Kuasa. Termasuk rasa cinta kepada wanita (lawan jenis) dan lain-lainnya.

`Dijadikan indah pada manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik .`(QS. Ali Imran :14).

Khusus kepada wanita, Islam menganjurkan untuk mewujudkan rasa cinta itu dengan perlakuan yang baik, bijaksana, jujur, ramah dan yang paling penting dari semua itu adalah penuh dengan tanggung-jawab. Sehingga bila seseorang mencintai wanita, maka menjadi kewajibannya untuk memperlakukannya dengan cara yang paling baik.

Rasulullah SAW bersabda,`Orang yang paling baik diantara kamu adalah orang yang paling baik terhadap pasangannya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik terhadap istriku`.

b. Cinta Kepada Lain Jenis Hanya Ada Dalam Wujud Ikatan Formal

Namun dalam konsep Islam, cinta kepada lain jenis itu hanya dibenarkan manakala ikatan di antara mereka berdua sudah jelas. Sebelum adanya ikatan itu, maka pada hakikatnya bukan sebuah cinta, melainkan nafsu syahwat dan ketertarikan sesaat.

Sebab cinta dalam pandangan Islam adalah sebuah tanggung jawab yang tidak mungkin sekedar diucapkan atau digoreskan di atas kertas surat cinta belaka. Atau janji muluk-muluk lewat SMS, chatting dan sejenisnya. Tapi cinta sejati haruslah berbentuk ikrar dan pernyataan tanggung-jawab yang disaksikan oleh orang banyak.

Bahkan lebih `keren`nya, ucapan janji itu tidaklah ditujukan kepada pasangan, melainkan kepada ayah kandung wanita itu. Maka seorang laki-laki yang bertanggung-jawab akan berikrar dan melakukan ikatan untuk menjadikan wanita itu sebagai orang yang menjadi pendamping hidupnya, mencukupi seluruh kebutuhan hidupnya dan menjadi `pelindung` dan `pengayomnya`. Bahkan `mengambil alih` kepemimpinannya dari bahu sang ayah ke atas bahunya.

Dengan ikatan itu, jadilah seorang laki-laki itu `laki-laki sejati`. Karena dia telah menjadi suami dari seorang wanita. Dan hanya ikatan inilah yang bisa memastikan apakah seorang laki-laki itu betul serorang gentlemen atau sekedar kelas laki-laki iseng tanpa nyali. Beraninya hanya menikmati sensasi seksual, tapi tidak siap menjadi “the real man”.

Dalam Islam, hanya hubungan suami istri sajalah yang membolehkan terjadinya kontak-kontak yang mengarah kepada birahi. Baik itu sentuhan, pegangan, cium dan juga seks. Sedangkan di luar nikah, Islam tidak pernah membenarkan semua itu. Akhlaq ini sebenarnya bukan hanya monopoli agama Islam saja, tapi hampir semua agama mengharamkan perzinaan. Apalagi agama Kristen yang dulunya adalah agama Islam juga, namun karena terjadi penyimpangan besar sampai masalah sendi yang paling pokok, akhirnya tidak pernah terdengar kejelasan agama ini mengharamkan zina dan perbuatan yang menyerampet kesana.

Sedangkan pemandangan yang kita lihat dimana ada orang Islam yang melakukan praktek pacaran dengan pegang-pegangan, ini menunjukkan bahwa umumnya manusia memang telah terlalu jauh dari agama. Karena praktek itu bukan hanya terjadi pada masyarakat Islam yang nota bene masih sangat kental dengan keaslian agamanya, tapi masyakat dunia ini memang benar-benar telah dilanda degradasi agama.

Barat yang mayoritas nasrani justru merupakan sumber dari hedonisme dan permisifisme ini. Sehingga kalau pemandangan buruk itu terjadi juga pada sebagian pemuda-pemudi Islam, tentu kita tidak melihat dari satu sudut pandang saja. Tapi lihatlah bahwa kemerosotan moral ini juga terjadi pada agama lain, bahkan justru lebih parah.

c. Pacaran Bukan Cinta

Melihat kecenderungan aktifitas pasangan muda yang berpacaran, sesungguhnya sangat sulit untuk mengatakan bahwa pacaran itu adalah media untuk saling mencinta satu sama lain. Sebab sebuah cinta sejati tidak berbentuk sebuah perkenalan singkat, misalnya dengan bertemu di suatu kesempatan tertentu lalu saling bertelepon, tukar menukar SMS, chatting dan diteruskan dengan janji bertemu langsung.

Semua bentuk aktifitas itu sebenarnya bukanlah aktifitas cinta, sebab yang terjadi adalah kencan dan bersenang-senang. Sama sekali tidak ada ikatan formal yang resmi dan diakui. Juga tidak ada ikatan tanggung-jawab antara mereka. Bahkan tidak ada kepastian tentang kesetiaan dan seterusnya.

Padahal cinta itu adalah memiliki, tanggung-jawab, ikatan syah dan sebuah harga kesetiaan. Dalam format pacaran, semua instrumen itu tidak terdapat, sehingga jelas sekali bahwa pacaran itu sangat berbeda dengan cinta.

d. Pacaran Bukanlah Penjajakan / Perkenalan

Bahkan kalau pun pacaran itu dianggap sebagai sarana untuk saling melakukan penjajakan, atau perkenalan atau mencari titik temu antara kedua calon suami istri, bukanlah anggapan yang benar. Sebab penjajagan itu tidak adil dan kurang memberikan gambaran sesungguhnya atas data yang diperlukan dalam sebuah persiapan pernikahan.

Dalam format mencari pasangan hidup, Islam telah memberikan panduan yang jelas tentang apa saja yang perlu diperhitungkan. Misalnya sabda Rasulullah SAW tentang 4 kriteria yang terkenal itu.

Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW berdabda,`Wanita itu dinikahi karena 4 hal : [1] hartanya, [2] keturunannya, [3] kecantikannya dan [4] agamanya. Maka perhatikanlah agamanya kamu akan selamat. (HR. Bukhari Kitabun Nikah Bab Al-Akfa` fiddin nomor 4700, Muslim Kitabur-Radha` Bab Istihbabu Nikah zatid-diin nomor 2661)

Selain keempat kriteria itu, Islam membenarkan bila ketika seorang memilih pasangan hidup untuk mengetahui hal-hal yang tersembunyi yang tidak mungkin diceritakan langsung oleh yang bersangkutan. Maka dalam masalah ini, peran orang tua atau pihak keluarga menjadi sangat penting.

Inilah proses yang dikenal dalam Islam sebagai ta`aruf. Jauh lebih bermanfaat dan objektif ketimbang kencan berduaan. Sebab kecenderungan pasangan yang sedang kencan adalah menampilkan sisi-sisi terbaiknya saja. Terbukti dengan mereka mengenakan pakaian yang terbaik, bermake-up, berparfum dan mencari tempat-tempat yang indah dalam kencan. Padahal nantinya dalam berumah tangga tidak lagi demikian kondisinya.

Istri tidak selalu dalam kondisi bermake-up, tidak setiap saat berbusana terbaik dan juga lebih sering bertemu dengan suaminya dalam keadaan tanpa parfum dan acak-acakan. Bahkan rumah yang mereka tempati itu bukanlah tempat-tempat indah mereka dulu kunjungi sebelumnya. Setelah menikah mereka akan menjalani hari-hari biasa yang kondisinya jauh dari suasana romantis saat pacaran.

Maka kesan indah saat pacaran itu tidak akan ada terus menerus di dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dengan demikian, pacaran bukanlah sebuah penjajakan yang jujur, sebaliknya bisa dikatakan sebuah penyesatan dan pengelabuhan.

Dan tidak heran bila kita dapati pasangan yang cukup lama berpacaran, namun segera mengurus perceraian belum lama setelah pernikahan terjadi. Padahal mereka pacaran bertahun-tahun dan membina rumah tangga dalam hitungan hari. Pacaran bukanlah perkenalan melainkan ajang kencan saja.

Perilaku Orang Bertakwa
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun di waktu sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. Dan (juga) orang yang apabila melakukan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah. Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, dan itulah sebaik-baik pahala orang yang beramal.” (QS. Ali Imran : 133-136).

Pada ayat pertama dari kelompok ayat diatas, Allah SWT memerintahkan terhadap orang-orang yang beriman untuk bersegera meraih ampunan dan surga yang sangat luas yang disediakan untuk mereka yang bertakwa. Kemudian pada ayat-ayat selanjutnya Allah SWT menjelaskan beberapa perilaku orang bertakwa tersebut.

Setidaknya ada lima perilaku takwa yang digambarkan Allah pada ayat-ayat di atas, berikut penjelasannya :

1. Berinfak di Waktu Lapang dan Sempit

Termasuk perilaku orang bertakwa adalah berinfaq dalam keadaan bagaimana pun, baik dalam keadaan lapang (berkecukupan) ataupun dalam keadaan sempit (kekurangan). Mereka berusaha untuk selalu dapat membantu orang lain sesuai dengan kemampuan. Mereka tidak pernah melalaikan infaq meski terkadang mereka sendiri sedang kesulitan.
Dalam suatu hadits Rasulullah SAW menyatakan : “Jauhkanlah dirimu dari api neraka walaupun dengan (bersedekah) sebutir kurma.” (HR. Muttafaq alaih).
Menurut Rasyid Ridha (AL-Manar III, halaman 123-133), Allah memulai gambaran orang bertakwa dengan infaq karena dua hal berikut :
Pertama; infaq adalah kebalikan dari riba yang dilarang oleh ayat sebelumnya (QS. Ali Imran : 130). Riba adalah pemerasan yang dilakukan oleh orang kaya terhadap orang yang membutuhkan pertolongan dengan memakan hartanya dari bayaran hutang yang berlipat ganda. Sedangkan infaq adalah sebuah pertolongan kepada orang yang membutuhkan tanpa imbalan.
Kedua; Sesungguhnya infaq adalah sesuatu yang tidak mudah dilakukan karena kecintaan manusia terhadap harta. Oleh karena itu, barangsiapa yang sanggup menginfaqkan harta di waktu lapang dan sempit, jelas menunjukkan sikap kepatuhan, ketundukkan hati, yang merupakan sebuah ketakwaan.
Anjuran dan perintah berinfaq pada waktu lapang adalah untuk menghilangkan perasaan sombong, rakus, aniaya, cinta yang berlebihan terhadap harta, dan lain-lain. Sedangkan anjuran bersedekah di waktu sulit adalah untuk merubah sifat manusia yang lebih suka diberi dari pada memberi. Sebenarnya, sesusah apapun manusia masih bisa memberikan sesuatu di jalan Allah walaupun sedikit. Dorongan ini ada pada diri setiap orang tetapi kadang-kadang tidak muncul. Untuk itu agamalah yang menumbuhkan kesadaran itu.

2. Menahan Marah

Selanjutnya perilaku orang yang bertakwa adalah mampu menahan marah dengan tidak melampiaskan kemarahan walaupun sebenarnya ia mampu melakukannya. Kata al-kazhimiin berarti penuh dan menutupnya dengan rapat, seperti wadah yang penuh dengan air, lalu ditutup rapat agar tidak tumpah. Ini mengisyaratkan bahwa perasaan marah, sakit hati, dan keinginan untuk menuntut balas masih ada, tapi perasaan itu tidak dituruti melainkan ditahan dan ditutup rapat agar tidak keluar perkataan dan tindakan yang tidak baik. (Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah, II, halaman 207).
Orang yang mampu menahan marah, oleh Nabi SAW disebut sebagai orang yang kuat. Beliau bersabda :

“Orang yang kuat bukanlah orang yang jago gulat, tetapi (orang yang kuat itu adalah) orang yang mampu menahan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Daud).

Dalam hadits lain nabi juga bersabda : “Barangsiapa menahan marah padahal ia mampu untuk melampiaskannya, maka di hari kiamat Allah akan memenuhi hatinya dengan keridhaan.”

3. Memaafkan

Memaafkan berarti menghapuskan. Jadi seseorang baru dikatakan memaafkan orang lain apabila ia menghapuskan kesalahan orang lain itu, kemudian tidak menghukumnya sekalipun ia mampu melakukannya. Ini adalah perjuangan untuk pengendalian diri yang lebih tinggi dari menahan marah. Karena menahan marah hanya upaya menahan sesuatu yang tersimpan dalam diri, sedangkan memaafkan, menuntut orang untuk menghapus bekas luka hati akibat perbuatan orang. Ini tidak mudah, oleh karena itu pantaslah dianggap perilaku orang bertakwa.
Untuk memberikan dorongan kepada manusia agar mau memaafkan, Allah berulang kali memerintahkannya di dalam Al-Qur’an, antara lain dalam surat Al-A’raf : 199, Al-Hijr : 85, dan Asy-Syura 43. Sementara itu Rasulullah SAW juga menjelaskan keuntungan orang-orang yang mau memaafkan kesalahan orang lain, di antaranya : “Barangsiapa memberi maaf ketika dia mampu membalas, maka Allah akan mengampuninya saat ia kesukaran. Dan Orang yang memaafkan terhadap kezhaliman, karena mengharapkan keridhaan Allah, maka Allah akan menambah kemuliaan kepadanya di hari kiamat.” (Lengkapnya dapat dilihat dalam Muhammad Ahmad al-Hufy, Edisi Indonesia, halaman 272).
Nabi Muhammad SAW sebagai uswatun hasanah kita, adalah seseorang yang sangat pemaaf. Aisyah RA berkata : “Saya belum pernah melihat Rasulullah SAW membalas karena beliau dianiaya selama hukum Allah tidak dilanggar. Beliau akan memaafkan kesalahan orang lain yang mengenai dirinya, karena itu adalah sifat utama.”

4. Berbuat Ihsan

Ini adalah tingkat yang lebih tinggi dari tiga perilaku takwa sebelumnya. Allah mencintai orang yang berbuat ihsan dengan berbagai cara yang mungkin dilakukannya. Dalam menafsirkan ayat ini Muhammad Rasyid Ridha mengemukakan suatu riwayat yang menggambarkan bahwa berbuat ihsan itu adalah sebagai puncak dari tiga sifat utama sebelumnya.
“Seorang budak melakukan sesuatu pelanggaran yang membuat tuannya sangat marah. Budak itu berkata kepada tuannya : Tuan, Allah SWT berfirman wal kazhimiin alghaizha. Maka tuannya menjawab : Aku telah menahan marahku. Budak itu berkata lagi : Allah telah berfirman walafiina aninnaas,.Yang dijawab oleh tuannya : Kamu telah kumaafkan. Budak itupun melanjutkan lagi : Bahwa Allah telah berfirman wallahu yuhibbul muhsiniin. Tuannya menjawab : Pergilah! Engkau merdeka karena Allah.” (Muhammad Rasyid Ridha, IV, halaman 135). Riwayat senada juga dikemukakan oleh Al-Maraghi dalam menafsirkan ayat ini.

5. Cepat Menyadari Kesadaran lalu Beristighfar

Perilaku ini menggambarkan bagaimana orang yang bertakwa menghadapi dirinya sendiri, yaitu bila dia sengaja atau tidak melakukan perbuatan dosa seperti membunuh, memakan riba, korupsi, berzina, atau menganiaya diri sendiri seperti minum khamar, membuka aurat, tidak shalat, tidak berpuasa, dan sebagainya, mereka langsung ingat Allah, sehingga merasa malu dan takut kepadaNya. Lalu ia cepat menyesali semua perbuatannya dan memohon ampun sambil bertekad tidak akan mengulangi lagi kesalahan itu.
Orang mukmin yang bertakwa setelah bertaubat tidak akan mengulang pelanggaran yang telah dilakukannya, karena ia akan selalu ingat dan takut kepada Allah.
Dalam ayat ini Allah juga menegaskan dua hal. Pertama, hanya Allah lah tempat memohon ampunan, karena hanya Allah juga yang mampu memberi ampunan. Kedua, ayat ini menunjukkan betapa Maha Pemaaf dan Pengampunnya Allah.

Untuk mereka yang memenuhi lima kriteria diatas, Allah menjanjikan balasan berupa ampunan, selamat dari siksaan, mendapat pahala yang besar, dan memperoleh surga yang sangat luas dan menyenangkan. Itu semua adalah sebaik-baik balasan dan imbalan Allah terhadap amal yang telah mereka lakukan.

Sumber : http://www.kotasantri.com